DILEMA SEORANG IBU
Artikel
“Perempuan Pendidik Utama” yang ditulis oleh Benni Setiawan di dalam bukunya
yang berjudul “Dasar-Dasar Ilmu Sosial (Refleksi Menuju Aksi)” menceritakan
seorang perempuan yang tidak percaya diri ketika diberi sebuah pertanyaan “Apa
pekerjaan Anda?” oleh temannya, Prof. Akh. Minhaji., Ph.D, alumnus McGill
University, Kanada. Perempuan itu menjawab kalau ia hanyalah seorang ibu rumah
tangga, sambil menundukkan kepalanya. Sang profesor pun bertanya-tanya, mengapa
perempuan itu tidak percaya diri saat menjawab pertanyaan. Padahal, menurut
sang profesor, ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang mulia. Beliau juga mencontohkan
bahwa pekerjaan ibu rumah tangga di Kanada dan Amerika Serikat menjadi pekerjaan
yang sangat mulia.
Orangtua, terutama ibu, mempunyai kewajiban untuk memperhatikan
pola pengasuhan terhadap anak. Waktu yang dimiliki ibu berkarir hanya sedikit untuk
mendidik anak, bahkan untuk sekadar saling tegur sapa saja ada yang tidak
sempat. Biasanya, mereka akan menyerahkan pengasuhan anak sepenuhnya kepada pembantu
rumah tangga dan guru di sekolah. Padahal, hal tersebut bisa membuat kualitas
intelektual anak tidak maksimal.
Ibu rumah tangga yang mempunyai waktu lebih banyak
daripada ibu yang berkarir, memang mempunyai kesempatan lebih banyak dalam
mendidik anak. Maka dari itu, menjadi seorang ibu rumah tangga harus memiliki
bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan yang cukup dengan cara menyelesaikan
studinya. Hal ini disebabkan karena merekalah yang akan melahirkan
generasi-generasi penerus bangsa yang tangguh.
Pada
akhirnya, menurut Benni Setiawan, perempuan adalah pendidik utama. Dari rahim
perempuan, lahir seorang generasi muda penerus bangsa yang dididik dan diawasi
tumbuh kembangnya sehingga menjadi anak yang cerdas, mandiri, dan tangguh. Generasi
yang cerdas tidak akan terpengaruh akan hal-hal negatif karena sudah dididik
dengan kasih sayang oleh orangtua. Oleh karena itu, menjadi seorang ibu rumah tangga
bukanlah hal yang memalukan.
Artikel yang ditulis oleh Benni ini saya bandingkan
dengan tulisan Mita Aggraeni yang berjudul “Peran dan Fungsi Ibu Berkarir dalam
Pembentukan Karakter Anak”. Pendidikan memang bisa didapatkan dari mana saja,
seperti dari lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Namun, pendidikan
yang utama adalah pendidikan yang berada di lingkungan keluarga.
Emansipasi wanita yang digerakkan oleh R. A. Kartini
berarti bahwa perempuan mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama
dengan pria di segala bidang, salah satunya dalam memilih apakah akan bekerja
atau tidak. Jika seorang perempuan memilih menjadi ibu yang bekerja sebagai
wanita karir, maka ia akan memiliki peran ganda di dalam keluarganya. Artinya,
perempuan mempunyai dua atau lebih peran yang harus dilakukan dalam waktu
bersamaan, baik sebagai istri, ibu, dan seseorang yang bekerja pada suatu
instansi.
Perempuan
yang memilih menjadi ibu yang berkarir memang pasti punya alasan tersendiri,
contohnya seperti faktor kebutuhan ekonomi. Seorang ibu harus rela membantu
suami dalam memenuhi kebutuhan keluarga sehingga fungsi ibu sebagai pendidik di
rumah bisa menjadi berkurang atau hilang. Kemudian, faktor psikologi, seperti
mempunyai rasa malu apabila menjadi seorang perempuan yang tidak bekerja
sehingga tidak mempunyai penghasilan yang lebih dan kurang fashionable seperti ibu-ibu yang berkarir.
Sebagai ibu, perempuan harus menanamkan pendidikan
karakter kepada anak. Menurut Thomas Lickona, “Tiga pilar komponen karakter
yang baik, yaitu moral knowing
(pengetahuan moral), moral feeling
(perasaan tentang moral), dan moral
action (perbuatan atau tindakan moral) yang diperlukan agar anak mampu
memahami, merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai kebaikan. Adapun nilai-nilai
karakter yang diharapkan berdasar pada sembilan dasar dalam pilar karakter,
antara lain: cinta kepada Allah dan semesta; tanggung jawab, disiplin, dan
mandiri; jujur; hormat dan santun; kasih sayang, peduli, kerja sama; percaya
diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; keadilan dan kepemimpinan;
baik dan rendah hati; serta toleransi, cinta damai, dan persatuan.”
Dari kedua artikel ini, saya dapat menyimpulkan bahwa ibu
yang berkarir tidak bisa maksimal dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai
ibu karena sebagian waktunya dihabiskan untuk bekerja. Secara psikologis, ibu
yang berkarir juga memiliki tingkat kesabaran yang rendah dalam mendampingi
anak karena mempunyai tekanan kerja. Ibu yang berkarir memang mempunyai
beberapa dampak positif, seperti membuat anak menjadi mandiri dan dapat
menambah pemasukan ekonomi. Tetapi, dampak negatifnya yaitu anak menjadi kurang
perhatian, rasa sopan santun
anak menjadi berkurang, hasil belajar yang buruk, dan
sebagainya. Oleh karena itu, ibu yang berkarir harus menyeimbangkan antara
pekerjaan dan pendidikan karakter terhadap anak. Sesibuk apapun ibu dalam
bekerja, ibu harus tetap berkomunikasi baik dengan anak. Ibu harus meluangkan
waktu untuk melakukan kegiatan bersama dengan keluarga, seperti makan malam
bersama, liburan, bercerita, dan
sebagainya. Bermain ponsel pun harus dihindari saat sedang family time supaya pertemuan akan berkualitas. Jadi, baik menjadi seorang ibu rumah
tangga ataupun menjadi ibu yang berkarir, tetaplah menjadi ibu yang cerdas
untuk melahirkan generasi penerus bangsa yang cerdas pula.
Sumber
Anggraeni, M. (2019). PERAN
DAN FUNGSI IBU BERKARIR DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK (Doctoral
dissertation, IAIN SALATIGA).
Setiawan, Benni. (2018). DASAR-DASAR ILMU SOSIAL (Refleksi Menuju Aksi). Yogyakarta: UNY
Press.
Komentar
Posting Komentar